Friday 16 September 2016

Mengenal Pneumonia, Infeksi Paru yang Menyerang Hillary Clinton

Hillary Diane Rodham Clinton didiagnosis pneumonia usai terbatuk dalam peringatan tragedi 9/11 di New York baru-baru ini. Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat ini sampai harus membatalkan jadwal kampanye.

Dikutip dari Mayo Clinic pada Selasa (13/9/2016), pneumonia adalah radang pada jaringan paru akibat infeksi kuman tertentu. Akibatnya alveoli atau kantong udara di ujung saluran napas, bisa mengalami radang dan terisi cairan.

Kondisi ini pula yang menyebabkan infeksi pneumonia sering disebut dengan istilah 'paru-paru basah' walau kenyataannya paru-paru memang selalu basah. Tanpa ada cairan, jaringan paru-paru yang bentuknya mirip spons bisa mengalami kolaps.

Ada berbagai jenis kuman yang bisa menyebabkan infeksi pneumonia, mulai dari virus, jamur, hingga bakteri. Salah satu yang paling umum ditemukan adalah bakteri Streptococcus pneumoniae, yang menular melalui udara pernapasan. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ini disebut sebagai pneumococcal pneumonia.

Center of Disease Control and Prevention (CDC) menyebut ada sekitar 900.000 warga AS yang tertular pneumococcal pneumonia setiap tahun. Sekitar 5-7 persen di antaranya meninggal dunia, dan sebanyak 400.000 orang dirawat di rumah sakit setiap tahun karenanya.

Infeksi pneumonia bisa menyerang siapa saja, namun yang paling rentan adalah orang-orang dengan daya tahan tubuh yang lemah. Anak-anak di bawah umur 2 tahun, serta lansia di atas usia 65 tahun termasuk kelompok yang paling rentan untuk tertular.

Lalu bagaimana dengan kondisi Hillary Clinton, seberapa parah infeksi yang dialaminya? Sejauh ini, informasi tentang infeksi yang dialami istri mantan presiden AS ke-42, Bill Clinton ini masih sangat terbatas. Namun beberapa kalangan meyakini kondisinya tidak terlalu serius.

"Pada titik ini, tidak ada alasan untuk meyakini bahwa Sekretaris Clinton (merujuk pada jabatan sebelumnya sebagai Menteri Luar Negeri AS) akan 'lumpuh' karena pneumonia," kata penasihat ilmiah American Lung Association, Norman H Edelman kepada Washington Post.